JAKARTA, PADMAIndonesia.id– Aksi kekerasan brutal yang dilakukan oleh dua oknum anggota Kepolisian Brimob Polda NTT di Maumere, pada 10/9/2023 yang lalu, atas diri korban Tadeus Nong Payung dan Martinus Rino, di Kewapante, Maumere, semakin menambah panjang daftar jumlah kekerasan brutal yang dilakukan oleh anggota Polri terhadap warganya.
Dalam waktu yang hampir bersamaan tepatnya pada 13/9/2023, terjadi kasus kekerasan oleh Anggota Polri di Labuan Bajo, Mangarai Barat; di mana seorang Security Bank BRI, bernama Gio dipukul oleh AKP Ivans Drajat, Kapolsek Komodo, Polres Manggarai Barat, lantaran ditegur karena menggunakan helm saat masuk di ruang ATM.
“Ini gambaran kecongkakan anggota Polri di tengah masyarakat Flores, NTT, dengan budaya santun dan ramah, ternyata tidak membuat beberapa anggota Polri di Flores merasa sebagai warga bangsa yang sama, di antara mereka masih ada yang merasa diri sebagai punya sesuatu yang lebih, sehingga bisa melakukan apa saja tanpa merasa bersalah,” sorot Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus, dalam keterangan tertulis, Jumat (15/9/2023).
Menurut Petrus, praktek-praktek tidak terpuji itu harus dihentikan dan karena itu harus menjadi perhatian khusus Kapolda NTT, karena bagaimanapun juga perilaku Anggota Polri berupa memukul warga hingga luka-luka berat, dapat dikualifikasi sebagai kejahatan penganiayaan.
“Karena itu, oknum Anggota Polisi harus diproses Hukum dan Etik, berjalan seiring sesuai dengan ketentuan tuntutan masyarakat,” ujarnya.
MELANGGAR HUKUM DAN ETIKA
Petrus menegaskan, Pimpinan Polda NTT harus memberikan perhatian khusus, terutama proses hukum yang transparan dan akuntabel terhadap siapapun anggotanya yang melakukan tindak kekerasan penganiayaan terhadap warga, maka tindakan itu bukan saja sebagai Tindak Pidana, akan tetapi juga sebagai melanggar Etika.
“Kita tahu bahwa setiap Anggota Polri, baik dalam menjalankan tugasnya maupun di luar tugas, terikat pada aturan Hukum dan Kode Etik. Mengenai Kode Etik, Anggota Polisi diikat dengan 4 (empat) kategori Etika, yaitu Etika Kepribadian, Etika Kenegaraan, Etika Kelembagaan dan Etika dalam hubungan dengan masyarakat,” paparnya.
Selama ini, lanjut Petrus, Anggota Polri banyak di antaranya yang berperilaku melanggar Etika Kemasyarakatan di samping melanggar Hukum, terlalu banyak tindak kekerasan terhadap warga masyarakat yang dilakukan anggota Polri di hampir setiap kabupaten di NTT, berupa aksi pemukulan, penganiayaan dan kekereasan verbal lainnya, baik ketika dalam bertugas maupun di luar tugas.
KURANGNYA SIKAP TEGAS
Anggota Polisi ketika bertugas di lapangan, tidak boleh menempatkan diri hanya sebagai Penegak Hukum, karena dalam diri setiap anggota Polri, melekat tugas dan fungsi sebagai Pelindung dan Pengayom Masyarakat. Tugas sebagai Pengayom dan Pelindung masyarakat, tidak boleh dilepaskan dari tugas sebagai Penegak Hukum.
“Karena itu, setiap anggota Polri ketika berada di lapangan menjadi Penegak Hukum, dia tidak boleh abaikan fungsinya sebagai Pengayom dan Pelindung bagi masyarakat, karena itu harus dibudayakan dan dijadikan sebagai kebanggaan setiap Polri akan fungsi sebagai Pengayom dan Pelindung masyarakat yang harus berjalan seiring dengan fungsi sebagai Penegak Hukum,” kata Koordinator PEREKAT NUSANTARA itu.
Dengan demikian, imbuh Petrus, maka fungsi Polri sebagai Oengayom dan Pelindung masyarakat harus dibudayakan dan menjadi kebanggaan bagi setiap anggita Pokri, sehingga kekerasan yang selama ini terjadi bisa diminimalisir.
Selain itu, tidak adanya sikap tegas dari Pimpinan Polri karena budaya melindungi korps secara berlebihan juga membuat Pimpinan Polri mengabaikan persoalan Disiplin dan Etika anggota Polri di tengah masyarakat.
“Akibatnya konsep Polri yang presisi yang diperkenalkan oleh Kapolri Jenderal Listyo sigit Prabowo, dalam rangka upaya meningkatkan profesionalisme dan pelayanan Kepolisian yang bermutu tidak tercapai, karena dirusak oleh anggota Polri sendiri,” sorotnya.
MELANGGAR ETIKA
Menurut Petrus, setiap anggota Polri diikat oleh pedoman perilaku dan Kode Etik Kepolisian; ada Etika Kepribadian, Etika Kenegaraan, Etika Kelembagaan dan Etika Dalam Hubungan Dengan Masyarakat, yang dirasa kurang populer di kalangan anggota Polri.
“Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh Anggota Polisi, AKP Ivans Drajat terhadap saudara Gio di Labuan Bajo, maupun yang dilakukan oleh 2 anggota Polisi Brimob di Sikka terhadap korban Thadeus Payung dan Marianus Rino, harus diproses Hukum dan proses Etika, jika perlu dibarengi dengan proses secara adat di kampung untuk melahirkan efek jera,” kecam Petrus.
Petrus menegaskan, khusus tentang tindak kekerasan yang dilakukan oleh AKP Ivans Drajat, Kapolsek di Labuan Bajo terhadap Gio, Satpam BRI Cabang Labuan Bajo, oleh karena ternyata berdasarkan data yang diterima TPDI terdapat putusan pidana dalam perkara No. 44/Pid.Sus/2921/PN.Atb. tanggal 23 Juli 2021 oleh Pengadilan Negeri Atambua, NTT, maka urusan AKP Ivan Drajat ini akan jadi panjang dan semakin menarik ke depan.
Adapun putusan Pengadilan Negeri Atambua itu menyatakan Terdakwa Ivan Drajat terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja melakukan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga” dengan pidana penjara 3 bulan dengan percobaan 10 bulan, melanggar pasal 44 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2004, tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang ancaman pidananya 5 tahun penjara.
“Aneh! Putusan sangat ringan. Diduga ada unsur KKN, nanti kita lihat,” sorot Petrus.
Dengan demikian, kata Advokat Senior itu, mestinya AKP Ivans Drajat diproses secara Etik dan diberikan sanksi Etik berupa dipecat dengan tidak hormat dari keanggotaan Polri atau setidak-tidaknya tidak layak menduduki jabatan struktural dalam Kepolisian, termasuk tidak layak karena tidak memenuhi syarat menjadi resesre atau penyidik di Kepolisian manapun.
“Ini namanya Pimpinan Polri menebar racun bagi masyarakat ketika menempatkan AKP Ivan Drajat di tengah masyarakat;” sentilnya.
Oleh karena itu, tegasnya, terkait putusan pidana yang menempatkan AKP Ivan Drajat sebagai mantan Napi dengan bonus hukuman ringan hanya 3 bulan penjara dengan percobaan 10 bulan untuk tindak pidana yang ancaman pidananya 5 tahun bahkan ayat (2) bisa sampai 10 tahun (beraroma putusan berbau KKN), maka TPDI akan membuat pengaduan resmi ke Komisi Etik Polri agar terhadap AKP Ivan Drajat diproses secara Etik dan dipecat, karena melakukan pemukulan terhadap Gio.
“Bagi orang NTT dengan bobot perilaku AKP Ivans Drajat yang demikian parah, maka tiada maaf bagi Polisi yang punya tipikal preman, bukan pengayom masyarakat,” tegas Petrus.
Petrus menyinggung, aksi kekerasan fisik yang dilakukan oknum anggota Kepolisian terhadap anggota masyarakat di NTT, seringkali dipublikasi oleh media karena berkategori sebagai kesewenang-wenangan, kecongkakan hingga berkategori tindakan penganiayaan terhadap korban warga, sebagaimana yang terjadi terhadap Thadeus Payung dan Marianus Rino di Sikka, dan terhadap Gino di Labuan Bajo, namun jarang kita dengar ada proses Hukum secara pidana dan proses Etika hingga tuntas.
“Sehingga peristiwa serupa akan terjadi dan terus terjadi, terakhir dilakukan oleh dua oknum Brimob anggota Batalyon B Pelopor Maumere Polda NTT, diduga melakukan penganiayaan terhadap 2 pemuda Kewapante hingga babak belur. Karena itu 2 anggota Brimob di Sikka akan dilaporkan ke Propam Polda NTT dan Komisi Etik Polri agar dinonaktifkan,” komit Petrus.