BP Batam Tawarkan Solusi Berupa Dialog dengan Warga Pulau Rempang, Kuasa Hukum: Harus dalam Kesetaraan dan Saling Menghormati

BATAM, PADMAIndonesia.id– BP Batam baru saja merelease sebuah perubahan sikap yang drastis untuk berdialog dengan warga Pulau Rempang, setelah aksi damai dua kali terjadi di Kantor BP Batam dan sekali insiden berdarah tanggal 7 September 2023 saat pematokan tiang batas dan pengukuran lahan di Pulau Rempang.

Hal tersebut mendapat tanggapan dari Kuasa Hukum Warga Pulau Rempang, Petrus Selestinus.

Dalam keterangan tertulis, Selasa (13/9/2023), Petrus menanggapi bahwa ajakan dialog pasca ketegangan semoga menjadi kabar baik bagi warga Pulau Rempang.

“Dialog atau musyawarah yang selama ini dituntut oleh warga Pulau Rempang, menjadi barang mahal, karena tidak pernah terjadi dalam kesetaraan,” kata Petrus.

Padahal, kata Koordinator TPDI itu, dialog atau musyawarah merupakan ciri masyarakat Pancasila yang diejahwantakan dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan menjadi mekanisme yang wajib hukumnya untuk dilalui dalam setiap pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

“Semoga ini menjadi wujud penghormatan terhadap hak-hak atas tanah dan kesatuan masyarakat hukum adat Pulau Rempang dan hak-hak tradisionalnya. Karena itu, harus dilaksanakan dengan baik dan tidak boleh menyinggung perasaan warga Pulau Rempang yang sudah sangat terpukul akibat perilaku Kepala BP Batam,” tegas Petrus.

HAL YANG DIPERHATIKAN

Menurut Petrus yang juga Koordinator PEREKAT NUSANTARA itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam forum Akomodasi untuk dialog musyawarah, yakni:

Pertama, Pemerintah harus siap diri untuk duduk bersama-sama dengan warga masyarakat Pulau Rempang dalam kesetaraan dan harus saling mendengarkan saat dialog berlangsung.

Kedua, karena konflik antara Warga Pulau Rempang dengan BP Batam sudah terlalu dalam, maka dialog nanti sebaiknya dimediasi oleh Gubernur Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) dan Komnas HAM RI sebagai pihak yang kompeten dan netral, guna menghindari potensi ketegangan yang terjadi dalam dialog ketika warga berhadapan dengan BP Batam.

Ketiga, BP Batam tidak boleh memaksakan kehendak, terutama opsi relokasi, karena relokasi merupakan keputusan sepihak BP Batam yang sudah lama ditawarkan sepihak dan ditolak oleh warga Rempang.

Keempat, Harus ada tawaran baru tetapi tetap memenuhi tuntutan warga soal ketetapan untuk mempertahankan kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya, berikut tanah dan bangunan serta tumbuhan dengan luas lahan warisan nenek moyang yang bisa dimusyawarahkan.

Kelima, karena tawarannya yakni dialog dan musyawarah secara terbuka, maka sebaiknya antara BP Batam dengan Warga Pulau Rempang harus disepakati terlebih dahulu soal aturan main dan mekanisme di dalam dialog nanti, satu dan lain hal guna menghindari deadlock berkepanjangan.

“Sebagai Kuasa Hukum KERAMAT, kami mengapresiasi pilihan dialog dari BP Batam, ini pasti ada peran besar dan tangan dingin dari peran Gubernur Kepri dan Komnas HAM RI yang dengan segala pengaruh dan wibawanya bisa melunakkan sikap kaku BP Batam yang berketetapan untuk membongkar paksa dan relokasi,” ujar Petrus.

“Kepada warga Pulau Rempang diharapkan agar tetap berhati dingin pasca gontok-gontokan, agar dalam menentukan aturan main tidak boleh terjadi hambatan, terutama soal mekanisme dalam mengambil langkah-langkah akomodatif untuk musaywarah atau dialog,” tandas Petrus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *