JAKARTA, PADMAIndonesia.id– Koalisi Masyarakat Sipil Lawan Perdagangan Orang mendorong adanya Revisi Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Permintaan itu diutarakan Koalisi saat menggelar Focus Group Discussion (FGD) bersama tim peneliti Badan Keahlian Dewan (BKD) DPR RI bertempat di Ruang Banggar DPR RI, kompleks DPR, Jakarta, Senin (31/7/2023) sekaligus dalam rangka memperingati hari Lawan Perdagangan Orang Sedunia (World Day against Trafficking in Persons) yang diperingati setiap tanggal 30 Juli.
Kepala Badan Keahlian DPR RI, Dr. Inosentius Samsul, menyambut baik kolaborasi yang diinisiasi oleh Koalisi tersebut dan menyebut peran masyarakat sipil penting karena terlibat langsung dalam advokasi maupun pendampingan terhadap korban TPPO.
“Data korban TPPO terus meningkat setiap tahun, termasuk daerah NTT, tempat asal saya. Salah satu faktor TPPO yakni kemiskinan, sehingga harus ada upaya melalui legislasi untuk memberikan dampak bagi penegakan hukum sekaligus perlindungan bagi korban,” kata Inosentius yang berasal dari Manggarai-NTT ini.
UU TPPO Kurang Efektif Beri Perlindungan Korban
Ketua Koalisi Masyarakat Sipil Lawan Perdagangan Orang, Nukila EVanty, mengatakan bahwa UU TPPO kurang memberikan perlindungan bagi korban, karena banyak yang perlu diadopsi dengan modus-modus baru kejahatan kemanusiaan tersebut.
Nukila mencontohkan Pasal hukum tentang kompensasi semestinya harus ada bagi korban TPPO, termasuk support sistem bagi korban TPPO harus dilakukan oleh pemerintah, bergandengan tangan dengan masyarakat sipil.
“Gugus tugas TPPO sudah ada, yaitu terdiri dari 24 Kementrian dan non-Kementrian, sehingga bagaimana caranya 24 Kementrian ini berkolaborasi dengan masyarakat sipil,” kata Nukila.
Nukila menyebut, dalam mengindetifikasi korban kisalnya, perlu pendampingan atau bantuan hukum. Namun sejauh ini justru masyarakat sipil yang menjadi garda terdepan dalam kampanye dan advokasi TPPO,” jelasnya.
Menurut Nukila , UU TPPO perlu menekankan perlindungan anak-anak dari TPPO, serta mengharmonisasikan Pasal-pasal hukumnya dengan UU terkait seperti UU Perlindungan Anak, UU Imigrasi, UU Perlindungan Saksi, dan Korban.
Tiga Alasan Revisi UU TPPO
Kepala Pusat Pemantauan Undang-undang Badan Keahlian Setjen DPR, Tanti Sumartini, memaparkan data korban kasus TPPO di Indonesia yang terus meningkat dalam tiga tahun terakhir.
Pada 2020, terdapat 191 kasus dengan korban TPPO sebanyak 226 orang.
Sementara pada 2021 terdapat 624 dengan melibatkan 683 korban. Sedangkan pada 2022, terdapat 348 kasus dengan jumlah korban mencapai 401 orang.
Tanti mengatakan, mayoritas yang menjadi korban dalam kasus TPPO yakni kelompok rentan; yaitu perempuan dan anak.
“Berdasarkan Global Organized Crime Index, dalam kasus TPPO, perempuan dan anak sering menjadi korban eksploitasi seksual. Perempuan sering menjadi korban kerja paksa, mobilitasnya dibatasi, mengalami kekerasan fisik, bekerja dengan upah di bawah standar, bahkan tidak dibayar sama sekali,” kata Tanti.
Tanti menyebut, terdapat tiga aspek mengapa UU TPPO masih belum efektif dalam mengatasi masalah TPPO, yakni:
Pertama, aspek Substansi Hukum.
Dalam Pasal 2 UU TPPO yang menjelaskan tentang proses, cara, dan tujuan, masih belum jelas penjelasannya sehingga aparat penegak hukum masih kesulitan menafsirkan delik pasal 2.
Tanti menjelaskan, pihak-pihak yang berwewenang, punya kuasa untuk memblokir harta kekayaan pelaku TPPO. Namun dalam UU TPPO belum ada juknis dalam pemblokiran bagi pelaku.
Selanjutnya yaitu belum terpenuhinya hak restitusi bagi korban TPPO.
Kedua, aspek Struktur Hukum.
Tanti menjelaskan, koordinasi antara LPSK dengan APH (polisi dan penuntut umum, red) dalam pengajuan restitusi belum efektif.
“Koordinasi cenderung lebih lambat karena LPSK belum ada di semua daerah. Juga belum efektifnya koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menganggulangi TPPO.
“Pemda belum banyak berkomitmen untuk membuat perda dalam menanggulangi TPPO. Lalu gugus tugas TPPO di daerah belum efektif dan berperan optimal,” singgungnya.
Ketiga, aspek Budaya Hukum.
Dalam hal ini, kerahasiaan identitas saksi dan korban masih belum terjamin.
Menurut data dari Asean-Australia center Trafficking, pada 2020 pada 239 kasus yang dianalisis, 92% putusan tidak merahasiakan identitas korban.
Selebihnya, Tanti menjelaskan jika UU TPPO ini masih belum efektif oleh karena peran masyarakat yang belum optimal.
“UU TPPO sampai saat ini masih dipandang sebagai UU yang belum dipahami secara menyeluruh oleh masyarakat, terutama masyarakat rentan yang tinggal di daerah perbatasan,” ungkapnya.
Sementara itu, Gabriel Goa yang hadir mewakili Kelompok Kerja Menentang Perdagangan Manusia (Pokja MPM) dan masyarakat sipil NTT, mengapresiasi inisiatif FGD yang dinilai sangat strategis, karena telah menetapkan standar yang tinggi bagi kegiatan-kegiatan serupa yang dilakukan oleh lembaga lainnya.
Menurut Gabriel, salah satu kunci penting dalam pencegahan dan penanganan TPPO yakni dialog dan komitmen dalam kerja nyata, termasuk memahami tantangan yang dihadapi penegak hukum, memahami tantangan masyarakat sipil, bahkan memahami tantangan pemerintah.
“Semoga ke depan, donor-donor lebih cerdas mensupport kegiatan-kegiatan masyarakat sipil sehingga tidak terkesan menduplikasi data dan fakta serta benar -benar mencapai sasaran penanganan TPPO,” sentil Gabriel.
Gabriel menyinggung, kehadiran perwakilan dari Kedubes Canada, Kedubes Inggris, Kedubes Australia dalam FGD tersebut, menunjukkan bahwa pihak-pihak tersebut tahu bahwa TPPO adalah persolan global, lintas negara, dan sangat terstruktur.
“Kami sepakat dan mendukung pihak Kepolisian (Bareskrim) lebih proaktif untuk penegakan hukum, teemasuk penguatan ekonomi dengan mendirikan UMKM dan sentra bisnis di pedesaan sebagai salah satu opsi kunci mengatasi kemiskinan,” tandas Gabriel.