PAPUA, PADMAIndonesia.id– Solidaritas Dunia untuk Keadilan dan Perdamaian Papua (SOLID PAPUA) menyoroti semakin marak dan masifnya tindakan kriminalisasi hukum, diskriminasi HAM dan perampokan hak-hak Ekonomi, Sosial, Budaya (Ekosob) Orang Asli Papua (OAP) oleh kaum kuasa dan kuat modal yang bertindak seccara sistemik.
Ketua SOLID PAPUA, Gabriel Goa, dalam keterangan resmi, Minggu (17/6/2023) menyebut Bumi Cendrawasih, Papua menjadi magnet strategis penyerapan tenaga kerja karena hasil Sumber Daya Mineral dan Sumber Daya Alam yang belum banyak dieksploitasi.
Sementara Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Maluku, sudah habis-habisan dieksploitasi dan dijarah, sehingga hak-hak Ekosob Masyarakat Adatnya dirampok dan dijarah tanpa sisa.
“Mereka yang kehilangan sumber mata pencaharian, terpaksa mengais rejeki dengan mengadu nasib sebagai pekerja migran di Luar Negeri. Tragisnya, bukan mendapatkan Berkah tetapi malapetaka sebagai korban perdagangan manusia (Human Trafficking) yang terus marak di hampir setiap daerah pelosok negeri,” kata Gabriel.
Menurut Gabriel, kini Papua menjadi target utama kaum kuat kuasa dan kuat modal yang berani menghalalkan berbagai cara, yang penting Papua dijarah atas nama percepatan pembangunan dan kesejahteraan rakyat Papua.
Politik Divide et Impera Kolonial Belanda, kata Gabriel, diadopsi kaum kuat kuasa dan kuat modal untuk menguasai Papua, sehingga siapapun yang melawan akan dikriminalisasi secara hukum dan didiskriminasi secara HAM dengan stigmatisasi makar, koruptor dan pemabok.
Bahkan lebih tragis lagi, Orang Asli Papua diinjak-injak harkat dan martabatnya melalui ujaran kebencian dan sebutan rasisme sebagai monyet, kulit hitam, rambut keriting, dan sebutan rasis lainnya.
“Salah satu korban rasisme yakni salah seorang putra Papua yang pernah menjadi Komisioner Komnas HAM,” sebut Gabriel.
Gabriel mengungkapkan fakta terbaru yakni seorang Tokoh Orang Asli Papua yang melawan keinginan kaum kuat kuasa dan kuat modal, justru dikriminalisasi dan didiskriminasi.
Gabriel berkomitmen, terpanggil nurani kemanusiaan bagi tegaknya Keadilan untuk Orang Asli Papua dan terciptanya Perdamaian di Bumi Cendrawasih, maka SOLID PAPUA menyatakan;
Pertama, mendesak Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) untuk menghentikan pendekatan keamanan di Bumi Cendrawasih Papua seperti yang sudah dilakukan di Bumi Lorosae, Timor Timur.
“Presiden Jokowi perlu belajar dari Mahatma Gandhi dan Nelson Mandela yang mengutamakan pendekatan Kasih Pantang Kekerasan,” seru SOLID PAPUA.
Kedua, mendukung langkah Bapa Uskup Jayapura, yang mengingatkan Orang Asli Papua untuk tidak menjual tanah mereka.
Pasalnya, fakta yang terjadi di Bumi Cendrawasih Papua telah terjadi perampasan hak-hak Ekosob OAP secara masif dan sistemik, sehingga Bapa Uskup dan semua Tokoh Agama di Papua tidak hanya menghimbau dari mimbar, tetapi ikut berjuang bersama umat dan Penggiat HAM serta Pers salam menyuarakan dan membela kaum tak bersuara (voice of the voiceless) melawan Penjarah dan Perampok Bumi Cendrawasih.
Ketiga, mendesak Majelis Hakim untuk mendengarkan voice of the voiceless Orang Asli Papua di seluruh dunia dan suara Korban Lukas Enembe, Tokoh OAP yang sedang sakit akut dan menular, serta menghargai rekomendasi lembaga negara yakni Komnas HAM untuk memberikan kesempatan kepada Lukas Enembe untuk dirawat di Rumah Sakit, bukan dipaksa disidangkan di Pengadilan.
“Jika Majelis Hakim tetap memaksakan, maka Majelis Hakim ikut terlibat dalam pelanggaran HAM, karena mengabaikan Hak Atas Kesehatan Orang Asli Papua,” sorot SOLID PAPUA.
Keempat, mengajak Penggiat HAM Internasional dan Pers untuk mengawal persidangan Tokoh OAP, Lukas Enembe dan kondisi HAM Papua.
“Jika Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabaikan rekomendasi Komnas HAM, tidak mendengarkan jeritan hati Korban Tokoh OAP dan jeritan kaum tak bersuara, maka masih ada harapan yakni mengadu ke Dewan HAM PBB, Penggiat HAM Internasional seperti Paus Fransiskus di Vatikan, Pengadilan HAM Internasional dan Pers Internasional,” tandas Gabriel.