PEREKAT NUSANTARA: Keputusan Pencekalan dan Penetapan Status Tersangka Roy Rening oleh KPK sebagai CONTRA LEGEM!

JAKARTA, PADMAIndonesia.id– “Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini berada dalam kondisi anomali atau ketidakteraturan yang luar biasa dalam Penegakan Hukum ketika menghadapi profesi Advokat yang sedang menjalankan tugas sebagai Pembela dan Penasehat Hukum bagi seorang tersangka.”

Demikian sorotan itu diutarakan Koordinator Pergerakan Advokat (PEREKAT) NUSANTARA, Petrus Selestinus, dalam keterangan resmi, Sabtu (6/5/2023).

Menurut Petrus, tindakan kepolisian dari KPK terhadap seorang Advokat atas sangkaan melanggar pasal 21 UU Tipikor, jelas merupakan tindakan yang bersumber dari keputusan yang bersifat “contra legem” sehingga menimbulkan anomali yang luar biasa badi profesi Advokat.

Petrus menyinggung, beberapa Advokat telah menjadi korban anomali penegakan hukum oleh KPK terutama ketika KPK menerapkan pasal 21 UU Tipikor terhadap profesi Advokat dengan mengabaikan ketentuan pasal 16 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 26/PUU-XI/2014, tanggal 14 Mei 2014 serta asas hukum lex posterior derogat legi priori.

Padahal, timpal Petrus, putusan MK Nomor: 26/PUU-XI/ 2014 bersifat erga omnes yang serta merta mengikat KPK.

“Karena itu, KPK harus tunduk pada kaidah Pasal 16 sampai Pasal 19 UU Advokat dan Putusan MK Nomor 26/PUU-XI/2014, yang memperluas wilayah imunitas profesi Advokat; tidak saja dalam area persidangan pengadilan, akan tetapi juga ketika Advokat sedang menjalankan tugas profesinya di luar Pengadilan,” ujar Petrus.

Karena itu, lanjut Petrus, sejak tanggal 14 Mei 2014, penerapan ketentuan pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor, harus dikecualikan bagi profesi Advokat yang sedang menjalankan tugas, karena berdasarkan “asas lex posterior derogat legi priori”, di mana hukum yang terbaru mengesampingkan hukum yang lama, maka profesi para Advokat tidak tunduk pada ketentuan pasal 21 UU Tipikor.

POSISI ADVOKAT ITU OPOSAN

Petrus yang juga Koordinator TPDI itu menegaskan bahwa di dalam KUHAP, UU KPK, UU Tipikor dan UU Advokat, seorang Advokat diposisikan sebagai “oposisi” dengan sejumlah hak istimewa, guna menghadapi kekuasaan KPK, Polri, Jaksa dan Hakim yang digdaya.

“Artinya, pembentuk UU dan MK melihat realitas dan mengkonstatir potensi penyalahgunaan wewenang dalam proses peradilan oleh KPK, Jaksa, Polisi dan Hakim, sehingga Advokat harus diberikan hak istimewa dan imunitas,” ungkapnya.

Ditegaskan, hak istimewa dan imunitas yang diberikan UU Advokat itulah yang merupakan senjata bagi profesi Advokat dengan jaminan kebebasan, kemerdekaan dan independensi dalam menjalankan tugas profesinya, guna melindungi diri dan Kliennya yang sedang dibela dari sikap kesewenang-wenangan KPK, Polri, Jaksa dan Hakim, dengan itikad baik demi menegakkan hukum dan keadilan bagi kliennya.

“Artinya, seandainyapun benar bahwa Advokat Roy Rening ketika menjalankan tugasnya sebagai Pembela dan Penasehat Hukum Lukas Enembe, pernah menyarankan agar Lukas Enembe tidak memenuhi panggilan KPK, maka saran yang diberikannya itu merupakan kewajiban hukum bagi profesinya,” kata Petrus.

Dengan demikian, sambungnya, KPK tidak boleh berpandangan sempit dan cengeng seolah-olah dengan sikap Advokat yang menyarankan kliennya untuk memenuhi panggilan KPK; lantas saran dan pendapat hukum Advokat itu mau diadili dengan instrumen pasal 21 UU Advokat

“Ini jelas keliru! Bagaimana mungkin KPK mau mengadili pendapat hukum Advokat,” timpalnya.

Petrus beralasan, karena Advokat Roy Rening tahu kondisi riil kliennya Lukas Enembe dalam keadaan sakit, sehingga menurut KUHAP dan UU Advokat, seorang Advokat harus memberikan nasihat dan pendapat hukum tentang apa yang sebaiknya dilakukan oleh Lukas Enembe, terutama tidak memenuhi panggilan KPK; karena alasan sakit, alasan layak dan patut bahkan melanggar hukum dan HAM, jika harus memenuhi panggilan KPK ketika itu.

“Oleh karena itu, perintah pencekalan dan penetapan status tersangka yang dikeluarkan oleh KPK terhadap Advokat Roy Rening yang sedang menjalankan tugas sebagai Pembela dan Penasehat Hukum Lukas Enembe, merupakan keputusan yang bersifat ‘contra legem’ dan ‘paradoksal’ dengan UU Advokat dan putusan MK,” sorot Petrus.

PASAL 21 UU TIPIKOR DIKECUALIKAN

Petrus merunut, berdasarkan ketentuan pasal 16 dan pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, yang kemudian diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/ 2014 tanggal 14 Mei 2014, bahwa Advokat tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun secara pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik, untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang Pengadilan.

“Artinya, sejak 14 Mei 2014, kedigdayaan KPK terhadap profesi Advokat sudah runtuh; di mana KPK tidak dapat lagi menggunakan instrumen pasal 21 UU Tipikor untuk menjerat profesi Advokat,” tegas Petrus.

Sementara itu, pada Pasal 19 ayat (1) UU Advokat, dikatakan bahwa Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang dia ketahui atau diperoleh dari kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang. Sedangkan pada ayat (2), Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan klien termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya, terhadap penyitaan, penyadapan, dan lain-lain.

Dalam kasus Roy Rening, sorot Petrus, KPK sengaja tidak mempertimbangkan ketentuan tentang sejumlah hak istimewa yang melekat dalam diri seorang Advokat menurut UU Nomor 18 Tahun 2003,m Tentang Advokat, yang kemudian diperluas dan diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2014, yang mengikat sekaligus membatasi wewenang KPK, ketika akan mengambil tindakan hukum terhadap Advokat dalam membela kliennya.

“Tindakan mencekal dan menetapkan Advokat Roy Rening sebagai Pembela dan Penasehat Hukum Lukas Enembe menjadi Tersangka, karena konsultasi dan saran yang diberikan apapun substansinya, pasti didasarkan pada itikad baik dan yang terbaik buat Lukas Enembe, dengan memperhatikan ketentuan pasal 5 dan pasal 7 KUHAP dan pasal 19 UU Advokat bagi pelaksanaan tugas KPK,” tukasnya.

Apa yang dilakukan Advokat Roy Rening dalam tugas membela Lukas Enembe, tegas Petrus, harus dipandang sebagai sebuah tindakan hukum yang maksimal dan profesional dari seorang Advokat terhadap Klien, karena berdasarkan realistas dan fakta-fakta hukum yang ada, bahwa Lukas Enembe berada dalam kondisi kesehatan fisik dan psikologis yang tidak memadai untuk menghadapi tindakan hukum dari KPK dan penghakiman oleh publik.

“KPK harus ingat, bahwa ketika KPK mencurigai Advokat Roy Rening karena memberikan pendapat dan saran agar Lukas Enembe tidak kooperatif kepada KPK, maka KPK telah mengadili isi pembicaraan antara Advokat Roy Rening dengan Klien yang dijamin kerahasiaan oleh UU Advokat termasuk perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik Advokat, sebagai pelanggaran Hukum dan Etik,” tegas Koordinator TPDI itu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *