Kontestasi Dapil 1 NTT  Menuju Senayan 2024

Oleh: GF.Didinong Say 

 

Kultus Individu

Joseph Goebbles dikenal  sebagai propagandis ulung Nazi Jerman di masa lalu. Goebbels sangat piawai memanfaatkan berbagai metode propaganda pencitraan yang terstruktur sistematik dan masif. Melalui media informasi yang ada saat itu seperti surat kabar, majalah, atau film, Gobbles dengan lihai mampu merekayasa kekaguman, kecintaan, kepatuhan, dan lain lain perasaan takluk rakyat Jerman kepada Adolf Hitler. Jargon-jargon mitos artifisial  yang diperkenalkan Goebbels seperti Fuhrer atau German Uber Alles ternyata mampu menghipnotis sekaligus mengkooptasi opini, persepsi, mindset dan perilaku bangsa Jerman menjadi sekedar penyembah Hitler.

Propaganda Goebbels tersebut terbukti menghasilkan kultus individu atau kultus pemimpin bagi sosok Adolf Hitler.  Dengan tercipta kondisi kultus tersebut, privilege kekuasaan Hitler segera menjadi absolut. Hitler pun bertransformasi menjadi seorang diktator tiran anti kritik. Selanjutnya Hitler yang otoriter sesuka hati mulai menentukan arah dan tujuan hidup bangsa Jerman yang kemudian berujung pada Perang Dunia II dan berakhir pada kehancuran Jerman pada tahun 1945.

Hari-hari ini, ketika mengamati konstelasi  perebutan kursi DPR RI pada Pileg 2024 mendatang di dapil  1 NTT yang meliputi Flores, Lembata, Alor, sekilas kesan terdapat nuansa kultus pada beberapa sosok kontestan incumbents (petahana) yang konon masih akan maju bertarung lagi. Fenomena kultus invidu itu tercermin dalam stagnasi perwakilan aspirasi politik. Stagnasi ini bisa jadi terkait dengan persepsi masyarakat yang telah dibentuk dengan sangat kuat bahwa hanya dia dia itu saja yang patut dipilih menjadi wakil rakyat Flores di Senayan.

Di antara anggota DPR RI petahana dari dapil 1 NTT itu memang telah menjabat selama beberapa periode. Patut dicatat sekaligus diapresiasi bahwa mereka mendapatkan posisi itu melalui perjuangan  keras, selain itu mereka juga telah berbuat banyak bagi kepentingan rakyat Flores.

Stagnasi representasi ini  sendiri sebenarnya bukanlah suatu pelanggaran. Secara konstitusional, ketiadaan aturan pembatasan periodisasi bagi jabatan legislator memberikan kesempatan pada petahana untuk bisa terus menjadi wakil rakyat. Namun wajar pula bila kehadiran wajah wajah lama petahana secara terus menerus dalam kontestasi pileg DPR RI di dapil 1 NTT itu mendatangkan kritik.

Regenerasi

Ada suatu pernyataaan menarik dengan basis sosiologis kultural, bahwa orang Flores itu,  berbeda dari suku Batak misalnya, sepertinya tidak mengenal budaya regenerasi ataupun kaderisasi by design. Budaya kekuasaan di Flores itu cenderung feodalistik yang diturunkan berdasarkan hubungan genealogis. Dengan latar belakang  ini, sulit kiranya membayangkan bahwa seseorang yang berkuasa akan bersedia mempersiapkan orang lain sebagai  pengganti dirinya.

Kritik politis bernuansa sosiologis kultural seperti ini pernah dialamatkan pada sosok Frans Seda, Sentis da Costa dan Ben Mang Reng Say. Sehebat hebatnya achievements para tokoh pendahulu itu, toh mereka sering dianggap tidak cukup serius mempersiapkan generasi pelapis penerus. Pengalaman itu sepertinya terus berulang hingga kini.

Nikmat kekuasaan itu cenderung menggoda siapapun untuk mengejar atau selamanya mempertahankan kekuasaan dalam genggamannya. Demikian mengutip Lord Acton. Dengan power dan influence seperti network atau logistik no limit seseorang yang sedang berkuasa dapat membangun pencitraan dan kultus individu untuk terus
memperoleh trust serta dukungan masyarakat. Sementara itu politisi rent seeker siap melakukan politik transaksional dengan praktik membeli suara rakyat yang marak dalam budaya money politics.

Padahal pemilu pesta demokrasi itu bukan dimaksudkan menjadi ajang untuk mengejar atau mempertahankan kekuasaan  dengan segala macam cara machiavelistik. Kaderisasi yang dirancang dengan benar sesungguhnya mampu menyelesaikan berbagai bias dalam suatu pemilu.

Uskup Larantuka, Mgr. Frans Kopong pernah menegaskan bahwa kontestasi pemilu yang sehat itu tidak perlu saling menegasi atau meniadakan. Maka lawan dalam berpolitik praktis bukan lagi ancaman apalagi musuh. Yang terutama, kekuasaan yang dikejar atau dipertahankan itu tiada lain kecuali amanah dan kepercayaan rakyat belaka.

Dewasa ini, tampilnya beberapa wajah baru kandidat potensial dalam kontestasi pemilihan umum legislatif menuju Senayan 2024 di dapil 1 NTT itu secara head to head bisa dibaca sebagai kritik terhadap kultur politik feodalistik tersebut. Para penantang ini sering disebut terlalu bernyali menghadapi para Don yang sekira dua dekade ini  telah malang melintang di atas panggung representasi aspirasi politik rakyat Flores di level nasional.

Tentu saja, belajar dari pengalaman senior, pihak new comers itu perlu kiranya berupaya secara extra ordinary dalam hal konsolidasi untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat. Kekuasaan yaitu kepercayaan masyarakat bukanlah hadiah yang serta merta melainkan perlu diperjuangkan dengan sekuat tenaga.  Para new comers itu perlu juga melontarkan ide atau gagasan baru yang bisa memikat simpati dan dukungan masyarakat. Di samping itu interaksi dan komunikasi dengan konstituen di Flores juga perlu dilakukan jauh lebih intens. Menggelikan sekali bila ada politisi caleg yang berdomisili di Jakarta misalnya, lalu bermimpi akan mendapatkan suara dan kepercayaan masyarakat hanya dari gencarnya pemberitaan media  tentang peluangnya sambil mengkritisi incumbents.

Konstelasi Politik Nasional

Tahun politik 2024 sering disebut sebagai  momen krusial perjalanan bangsa Indonesia. Krusial karena polarisasi sosial politik diprediksi akan semakin tajam. Ada potensi konflik horizontal di situ. Sejak awal pendirian bangsa ini, masalah polarisasi politik sebagaimana misalnya dikonstantir oleh Bung Karno senantiasa mewarnai peta pertarungan politik dan kekuasaan.

Menghadapi fenomena polaristik tahun politik 2024 itu, stabilitas peri kehidupan, sikap politik dan posisi tawar orang Flores dalam berbangsa bernegara diharapkan selalu kondusif dalam koridor NKRI. Bagaimanapun Flores  yang berkarakter katolik, namun terkebelakang dan tertinggal ini merupakan anak kandung sekaligus pemilik yang sah dari republik ini.

Dengan demikian menjadi imperatif bagi para politisi Flores dari level daerah hingga di pentas nasional khususnya untuk selalu menjaga keseimbangan ketika sedang memperjuangkan kepentingan praktis di satu sisi sambil merawat kepekaan geopolitik ataupun sosiopolitik Flores dalam bingkai NKRI di sisi lain.

Politik Representasi

Ajaran kerasulan awam gereja katolik menegaskan bahwa umat diutus untuk menjadi lilin atau garam dalam kehidupan sehari hari di berbagai bidang dan profesi. Prinsip kerasulan awam berbasis semangat pelayanan ini seharusnya dapat menjadi guidance bagi semua politisi katolik asal Flores dalam berkiprah.

Dalam bidang politik ajaran kerasulan awam bisa diterjemahkan sebagai politik representasi. Politik representasi adalah politik pengamalan nilai kristiani seperti kasih kebenaran, keadilan, penegakan hukum, dan sebagainya. Ini berbeda dari politik identitas yang mengkapitalisasi agama ataupun atribut dan simbol keagamaan untuk suatu kemenangan politik praktis.

Ajaran kerasulan awam yang diterapkan dalam bidang politik itu bersifat radikal. Apalagi dalam kondisi politik kontekstual yang sarat kepentingan dan materialistik berikut suasana polaristik itu. Menjadi lilin atau garam itu menuntut keberanian dan sikap pengorbanan diri setiap  politisi katolik untuk selalu konsisten menjalankan nilai nilai kristiani. Politic is the exercise of the faith.

Orang Flores patut bersyukur selama ini memiliki beberapa wakil di level nasional seperti Melchias Markus Mekeng dari Golkar, Andreas Hugo Pareira dari PDI Perjuangan, Johnny G. Plate dari NasDem, Benny K. Harman dari Demokrat,  yang selama ini telah berjuang bagi pembangunan infrastruktur, kesejahteraan masyarakat, pendidikan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan lain sebagainya.

Kini, kehadiran new comer dalam kontestasi menuju Senayan 2024  dengan spirit politik representasi yang kuat seperti STEFANUS ROY RENING dari PERINDO, akan membuat pertarungan politik perebutan kursi DPR RI 2024 akan menjadi lebih menarik sekaligus alot.

Dari rekam jejaknya Roy Rening memberikan harapan besar sekaligus memiliki kualitas handal sebagai wakil rakyat dalam semangat politik representasi bagi kepentingan orang Flores di level nasional terutama di sektor penegakan hukum dan keadilan bagi masyarakat kecil yang tertindas dan teraniaya.

 

* Penulis adakah Diaspora Flores di Jakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *