Oleh: Gabriel Felipe Didinong Say*
OPNI, PADMAIndonesia.id– Salah satu persyaratan kelayakan dalam kontestasi politik bagi calon pejabat publik adalah kesehatan; yaitu kesehatan jiwa dan raga.
Para calon pejabat itu wajib memeriksakan dirinya secara lengkap (general chek up) kepada dokter ahli medis maupun kepada psikiater ahli ilmu kewarasan jiwa.
Rekam medik hasil dari pemeriksaan, berikut skor dan rekomendasi harus diserahkan kepada pihak penyelenggara kontestasi politik untuk menjadi bahan penilaian kelayakan keikutsertaan sang calon.
Sederhananya, masyarakat tidak boleh nanti memilih atau mendapatkan pejabat atau pemimpin yang sakit-sakitan, baik jiwa maupun raga.
Sering terjadi bahwa pejabat yang dipilih ternyata kemudian meninggal dunia karena serangan jantung atau penyakit bawaan lainnya yang sudah diketahui sebelumnya.
Itulah Indonesia. Rekam medik yang ilmiah dan objektif pun bisa diolah (dibeli) atau digelapkan. Sekedar contoh, tahun 1999 pada pemilihan legislatif (pileg) di Maumere, ada caleg terpilih dan dilantik namun kemudian tidak dapat menjalankan tugasnya dengan layak karena ternyata yang bersangkutan mengidap gangguan jiwa (gila). Caleg ini sebenarnya sejak dini telah menunjukkan ciri Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Istilah di kampung, “terlalu pintar sampai gila.” Tetapi ia terpilih juga karena populer.
Namun bagaimana wakil rakyat itu dapat melaksanakan tugas konstitusinya bila setiap hari ia datang ke kantor dalam keadaan mabuk, bau pesing atau tidak berpakaian lengkap?
“Mens Sana In Corpore Sano (di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat) merupakan pepatah lama yang sesungguhnya relatif. Orang Flores bilang, itu sudah tidak laku lagi. Sangat relatif.
Banyak orang bertubuh tegap sehat sempurna dengan bonus gagah ganteng atau cantik gemulai. Tetapi jiwanya mungkin memiliki kecenderungan serakah, egoistik, klepto, pedofil, dan sebagainya. Sebaliknya, ada banyak orang baik, pintar dan hebat namun berbadan ringkih atau memiliki sejumlah hambatan fisik lainnya.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah contoh yang sempurna. Meskipun penglihatan tidak tidak jelas tetapi tetap dipilih menjadi Presiden Indonesia.
Dalam alam demokratis, masyarakat seharusnya ditawarkan calon pemimpin yang sehat jiwa raga. Ini soal kekuasaan dan kepentingan umum. Hanya yang memenuhi persyaratan yang boleh mengikuti kontestasi untuk dipilih rakyat sebagai pejabat. Bukan “kucing dalam karung”. Menyesal kemudian itu percuma.
Sebuah Pengalaman
Tahun 2003, saya pernah mengantarkan seorang kerabat ke Grogol, menhgikuti tes kejiwaan dalam rangka pemilihan Gubernur (Pilgub) Di tempat itu, hadir juga Bakal calon gubernur (Bacagub) dari Provinsi lain untuk kepentingan yang sama. Mereka harus mencontreng pilihan jawaban pada lembar kuesioner yang amat banyak. Ada sekitar 3000 pertanyaan. Butuh waktu seharian untuk mengerjakannya.
Hasil jawabannya akan dinilai (skor) secara paradigmatik oleh psikiater penguji. Dalam penilaian tersebut terdapat penjelasan tentang kecenderungan kecenderungan kejiwaan bacaleg terkait. Dari penjelasan tersebut muncul konklusi dalam bentuk rekomendasi tentang kelayakan Bacaleg secara kesehatan jiwa.
Ketika saya bertanya tentang hasil uji psikiatri tersebut, psikiater yang bersangkutan justru menjawab secara alegoris bahwa kerabat saya itu lebih cocok menjadi pemimpin gangster. Sedangkan untuk Abdullah Puteh dari Aceh, ia mengatakan bahwa kawan itu ada kecenderungan korup.
Tetapi persoalan sesungguhnya bukan di hasil pemeriksaan kesehatan jiwa tersebut. Sang psikiater pemeriksa justru saat itu menegaskan bahwa berapapun dia dibayar, ia tidak akan merubah hasil. Itu soal integritas dan profesional.
Persoalannya adalah bahwa hasil pemeriksaan tersebut ternyata bisa saja diedit di jasa percetakan pinggiran jalan. Maka mutlak penting bagi penyelenggara pemilu (KPU) untuk melakukan crosschek dan verifikasi teliti terhadap autentisitas dokumen sang calon.
Dengan prosedur seperti ini kasus seperti Jokowi Undercover (Bambang Tri, dkk) tidak perlu terjadi. Kecuali jika pihak penyelenggara pemilu juga “masuk angin.”
Pejabat Publik di NTT
Dugaan praktik korup, berbagai kebijakan yang kontroversial, sikap dan pernyataan yang sensional, bombastis, sikap agresif bahkan represif, janji palsu, dan lain-lain, tindakan menyimpang pejabat pemimpin di Nusa Tenggara Timur (NTT) selama ini adalah hal-hal yang bertentangan dengan semangat reformasi. Hal ini juga menjadi faktor signifikan ketertinggalan dan keterbelakangan NTT selama ini.
Demokrasi memberi ruang bagi kontrol publik dalam penyelenggaraan kekuasaan apalagi kanal aspirasi dan sistem check and ballance tersumbat. Pemimpin atau pejabat itu juga manusia biasa yang boleh dan harus dikritisi. Ia bukan wakil Allah yang can do no wrong.
Ke depan dalam berbagai kontestasi politik, publik NTT perlu mencermati segala hal tentang calon pemimpin. Visi, misi, rekam jejak, integritas dan lain-lain. Secara khusus, publik perlu juga teliti menelisik autensitas dokumen kesehatan jiwa raga calon pemimpin.
Jangan sampai yang dipilih rakyat itu ternyata megaloman, pemimpin gangster, berbakat gila, atau calon koruptor yang memiliki high skill and intelligence fraud.
* Penulis adalah Alumni STF Driyarkara, Pemerhati masalah sosial-budaya, berdomisili di Jakarta.