KUPANG, PADMAIndonesia.id– Mantan Direktur Utama (Dirut)Bank NTT, Izhak Eduard Rihi, menjadi salah satu korban dari kejahatan korporasi dan hasil konspirasi melalui pemberhentikan sepihak tanpa dasar hukum dan alasan yang jelas.
Namun demikian, keputusan sepihak Mantan Dirut dan Mantan Kepala Cabang Bank NTT Kefamenanu (TTU), ditengarai karena mencuatknya kasus Pembelian MTN PT. SNP senilai Rp Miliar ke publik dan diperkuat Hasil Temuan LHP BPK RI.
Dalam sesi jumpa pers bersama sejumlah wartawan, Senin (27/2/2023), Izhak Rihi kembali menjelaskan bahwa usai menerima LHP BPK tahun 2020, dirinya sepakat dengan BPK RI bahwa kasus pembelian MTN PT. SNP bermasalah.
Atas dasar itu, dirinya sebagai Dirut Bank NTT (saat itu), diperintahkan BPK RI untuk memberikan sanksi kepada pejabat yang bertanggung jawab.
Namun demikian, sanksi itu tidak diberikan lantaran Alex Riwu Kaho selaku Kepala Divisi Treasury Bank NTT saat itu, terlanjur diangkat menjadi sebagai salah satu Direksi Bank NTT.
“Pada waktu itu, Kepala Divisi Treasury sudah menjadi Direksi, sehingga kewenangan pemberian sanksi itu ada di tangan pemegang saham. Saya sudah komunikasikan dengan pemegang saham waktu itu, tetapi ujungnya bukan sanksi atau pemberhentian, tetapi malah diangkat menjadi Dirut hingga sekarang,” jelas Izhak.
Menurut Izhak, dalam kasus pembelian MTN PT. SNP sebesar Rp 50 Miliar, Aparat Penegak Hukum (APH) dan Institusi Penegak Hukum yang saat ini sedang melakukan penyelidikan kasus tersebut, harus jujur dengan menindaklanjuti temuan LHP BPK RI.
“Perbuatan tersebut merupakan penyalahgunaan kewenangan yang telah memperkaya diri seseorang dan korporasi, sehingga Bank NTT dan negara dirugikan,” katanya.
“Kasus ini sudah terbukti lewat temuan LHP BPK RI, jadi APH harus jujur untuk proses temuan tersebut,” desaknya.
Tanpa Teguran Lisan dan Tertulis
Sementara itu, pada kesempatan yang sama, Mantan Kepala Cabang Bank NTT Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Eddy Nganggus, mengaku dirinya dipecat secara sepihak oleh pihak Direksi Bank NTT tanpa melalui peringatan berupa teguran, baik lisan maupun tertulis.
“Saya tidak pernah ditegur secara lisan maupun tertulis. Tetapi yang saya terima hanya Surat Keputusan (SK) bahwa saya dipecat, tanpa meminta penjelasan dari saya,” ungkapnya.
Eddy menjelaskan, jika alasan pemecatan karena dirinya mengupload ke Youtube kasus dugaan korupsi pembelian MTN PT. SNP senilai Rp 50 Miliar, baginya keputusan tersebut tidak memiliki dasar hukum, peraturan perusahaan, peraturan PT, atau peraturan internal secara lembaga.
“Saya siarkan lewat Youtube atau di blog saya dengan judul ‘Nasi Sudah Menjadi Bubur’ karena sudah sangat jelas; kasus sudah tersiar di semua media dan kasus tersebut berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI,” jelasnya.
Menurut Eddy, sosok yang paling bertanggung jawab atas kasus tersebut yakni Alex Riwu Kaho (sekarang Dirut Bank NTT).
Pasalnya, jelas Eddy, dalam LHP BPK RI Tahun 2020, BPK menyebutkan bahwa Kepala Divisi Treasury Bank NTT (saat itu dijabat Alex Riwu Kaho) sebagai sosok yang paling bertanggung jawab dalam kasus tersebut.
“Dalam LHP BPK saat itu, temuan terkait kasus MTN PT. SNP tersebut bukan ditujukan kepada Direksi, melainkan kepada Pejabat yang berwenang yakni Kepala Divisi Treasury Bank NTT (Alex Riwu Kaho, red),” tegasnya.
Eddy menambahkan, kejadian tahun 2018 pembelian MTN itu, memang ada masalah dan dirinya sepakat dengan BPK RI.
“Perlu saya tegaskan bahwa sesuai temuan, kasus MTN itu bukan ditujukan pada Direksi, melainkan kepada Kepala Divisi Treasury saat itu yakni Pak Alex,” katanya.
Eddy mengaku, buntut pemecatan dengan tidak hormat atas dirinya, telah merugikan nama baik keluarga, isteri dan anak-anak.
“Saya hanya menerima SK saja, dan hingga saat ini tidak menerima hak-hak saya sebagai karyawan dan Mantan Kepala Cabang di TTU (misalnya uang pensiun). Jadi saya terus menggugat sampai tetes darah penghabisan. Ini soal reputasi dan martabat yang harus dipertaruhkan,” komit Eddy.
Diketahui, sejak 2021 lalu hingga sekarang, kasus MTN PT. SNP sebesar Rp 50 Miliar masih dalam status Penyelidikan Kajati NTT.
Bahkan, hingga saat ini kasus tersebut belum dinaikkan ke tahap Penyidikan, sehingga terus menjadi sorotan publik dan elemen penggiat Anti Korupsi.