JAKARTA, PADMAIndonesia.id– Praktek mafia tanah dan mafia hukum masih marak di lingkup institusi penegekan hukum sehinggga harus diberantas.
Dalam sebuah kasus hukum di Jakarta Pusat, tudingan sejak awal kepada korban tidak terbukti. Ironisnya, dakwaan yang dikenakan pada tingkat Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Tinggi (PT) juga sangat jauh berbeda.
Komisi III DPR RI diharapkan bisa menelusuri praktek kejahatan tersistematis dari para mafia tanah yang bersinergi dengan para oknum (mafia, red) dari Aparat Penegak Hukum.
Lembaga Hukum dan HAM, Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (PADMA) Indonesia memberi catatan khusus soal mafia hukum dan mafia tanah tersebut.
“Aparat Penegak Hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim) yang diduga terlibat perlu diperiksa. Proses hukum harus didukung dengan sejumlah bukti yang dipertanggungjawabkan agar prinsip keadilan dan kebenaran terungkap,” desak Ketua Dewan Pembina PADMA Indonesia, Gabriel Goa, Sabtu (7/5/2022).
Gabriel menegaskan, sebagai lembaga pelayanan hukum dan advokasi, pihaknya sudah menyurati sejumlah pihak termasuk Komisi III DPR RI, agar kasus-kasus yang cenderung proses hukumnya berpihak pada mafia yang punya kuasa dan uang, harus dibongkar hingga tuntas.
Penegasan Gabriel tersebut menanggapi klarifikasi Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung), Ketut Sumedana di sejumlah media soal kriminalisasi dan mafia hukum terkait kasus tanah di kawasan Bungur, Jakarta Pusat.
Ketut Sumedana, pada Selasa (22/3/22), menyampaikan beberapa hal terkait pemberitaan media bahwa korban laporkan Jaksa ke Kejagung dan Komisi III DPR RI. Klarifikasi itu dimuat dalam laman resmi kejaksaan.go.id dan sejumlah media online terkait kasus di Jalan Bungur Besar Raya Nomor 54, Kecamatan Bungur, Jakarta Pusat.
Adapun korban yang dikriminalisasi atas kejadian pada awal Februari 2021 itu di antaranya Devid dan Effendi.
“Dugaan terjadinya kriminalisasi hukum dan kriminalisasi HAM terhadap terpidana Devid dan terpidana Effendi adalah tidak benar karena penanganan perkara sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku,” kata Kapuspenkum.
Selanjutnya, kata Ketut, terkait dugaan JPU tidak melaksanakan restorative justice juga tidak benar karena beberapa hal, di antaranya, tidak ada perdamaian dalam tingkat penyidikan dan pada tahap penyerahan tersangka dan barang bukti (Tahap II) serta perkara splitsing atas nama terpidana M dan terpidana AS, dkk telah terlebih dahulu disidangkan.
Kemudian, terpidana Devid dan Effendi merupakan pelaku utama (dader) yang mengajak terpidana M dan AS, dkk (mededader) untuk melakukan perbuatan yang didakwakan.
Gabriel menegaskan, PADMA dan KOMPAK Indonesia menepis klarifikasi Kejagung tersebut.
Gabriel beralasan, informasi dan bukti dari para korban menyebutkan sudah ada kesepakatan (perdamaian, red) dan pencabutan laporan dilakukan di Polres Metro Jakarta Pusat saat penyelidikan.
Bahkan, kata Gabriel, pelapor sendiri datang ke kejaksaan meminta kasus ini dihentikan karena bukan Devid dan Effendi yang dilaporkan.
Sementara itu, penyebutan sebagai pelaku utama (dader) juga dibantah sesuai pasal 335 ayat 1 KUHP. Fakta persidangan juga menyebutkan saat kejadian tidak terlihat terdakwa dan mereka tidak dilaporkan.
Kejanggalan lain yakni pelaku utama yang dilaporkan oleh pelapor malah tidak dieksekusi. Demikian juga korban lain (MY) sudah divonis 5 bulan tetapi hanya disebutkan 4 bulan 15 hari.
“Sejak awal ditahan, kami dituding mafia tanah oleh jajaran Polres Jakarta Pusat, tapi bukti dan dakwaannya tidak ada. Ini seolah-olah ada pesanan agar Devid dan Effendi harus ditahan,” ujar korban.
Sebelumnya, mewakili korban Devid dan Effendi, PADMA Indonesia melaporkan ke berbagai pihak, seperti Komisi Kejaksaan dan Kejaksaan Agung.
Korban juga melapor ke Badan Pengawasan Mahkamah Agung, Komisi Yudisial dan Komisi III DPR RI terkait kriminalisasi hukum dan diskriminasi Hak Asasi Manusia (HAM). Komisi Kejaksaan sudah memberikan tanggapannya.
Secara khusus, korban juga mempertanyakan dakwaan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dengan pasal 114 ayat (2) UU Narkotika yang sudah diumumkan ke publik. Penerapan pasal tersebut keliru dan menyalahi Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHP.
“Unik dan aneh. Dakwaan di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi sangat berbeda; apakah ini ketidaksengajaan atau memang indikasi ada mafia hukum,” kritik Gabriel.