JAKARTA, PadmaIndonesia.id– Lembaga Hukum dan HAM, Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (PADMA) Indonesia kembali menyoroti legalitas keabsahan Pelantikan Bupati Ende oleh Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL) sebagai polemik serius terkait dugaan penyalagunaan wewenang dan sikap pembangkangan.
Ketua Dewan Pembina PADMA Indonesia, Gabriel Goa, dalam keterangan resminya, Jumat (4/2/2022) menduga kuat, dasar hukum Gubernur NTT nekad melantik Erikos Emanuel Rede sebagai Wakil Bupati Ende sisa masa jabatan 2019-2024 yakni hanya berdasarkan Salinan Surat Ketetapan (SK) Mendagri.
“Diduga kuat, dasar hukum Pelantikan hanya Salinan Surat Ketetapan (SK) Mendagri dan bukan SK Mendagri Asli yang sudah ditandatangani dan stempel (cap) basah,” singgung Gabriel.
Gabriel mengatakan, hal yang lebih parah lagi yakni bahwa Gubernur NTT malah mengabaikan Surat Penarikan Salinan SK Mendagri oleh Dirjen Otda Kemendagri.
Gabriel berkomitmen, guna membantu publik NTT dan Nasional agar mengetahui kebenaran di balik polemik ini, maka PADMA Indonesia akan bekerjasama dengan Koalisi Masyarakat Pemberantasan Korupsi (KOMPAK) Indonesia dan insan pers yang independen dan berintegritas, menyatakan beberapa point tuntutan;
Pertama, mendesak Presiden RI agar memerintahkan Mendagri dan Dirjen Otda Kemendagri untuk jujur dan transparan menyampaikan kepada publik NKRI bahwa Mendagri belum menandatangani SK Pengesahan Wakil Bupati Ende tetapi baru mengirimkan Salinan Keputusan Mendagri yang sudah ditarik kembali karena ada permasalahan serius.
Kedua, mendesak Gubernur NTT dan Sekda NTT untuk menyampaikan secara jujur dan transparan kepada rakyat NTT dan masyarakat Ende pada khususnya, bahwa pelantikan Wabup Ende hanya berdasarkan Salinan SK Mendagri yang belum ditandatangani serta stempel (cap) Mendagri.
Ketiga, mendesak Ombudsman RI, Komnas HAM, Komisi II DPR RI, Komisi III DPR RI dan KPK RI untuk mengungkap Aktor Intelektual yang diduga bermain dalam Pilwabup Ende.
“Penyalahgunaan wewenang merupakan bentuk arogansi kekuasaan sehingga mengabaikan kewenangan yang lebih tinggi. Marwah birokrasi dan hakikat demokrasi tidak boleh dinodai dengan arogansi kekuasaan. Jika polemik serius menyangkut keabsahan ini diabaikan, maka negara telah tunduk pada kepentingan segelintir penguasa di daerah,” kritik Gabriel. (GuM)